Semudah Itu Menghujat, Semudah Itukah Meminta Maaf?

Yang Tepat dan Tidak Tepat

Sebenarnya, mudah mengunggah informasi atau pernyataan bukan merupakan sebuah masalah andai itu menyangkut komitmen penyampaian berita-berita yang dipertimbangkan punya nilai manfaat bagi orang banyak.

Yang tidak tepat adalah apabila klimaks permintaan maaf itu berlangsung sebagai proses rutin. Bukankah banyak terjadi, seseorang demikian “gatal” memosting ujaran yang menghujat lewat media sosial, atau tidak tepat dalam berperilaku dan mengetengahkan gestur ofensif terhadap orang lain?

Dalam kondisi demikian, kerap terkesan berlangsung simplifikasi sikap atas perilaku yang sudah telanjur disampaikan kepada pihak lain. Umumnya setelah sikap itu dipersoalkan, apalagi ketika berkembang masuk ke ranah hukum, dia tergopoh-gopoh menyesali dan buru-buru meminta maaf.

Kisah seorang perempuan penghujat Tri Rismaharini (saat itu Wali Kota Surabaya) beberapa waktu lalu menjadi contoh nyata betapa ketidakmampuan mengendalikan diri (dan jari-jari) berujung permintaan maaf. Contoh lain, seorang anak muda di sebuah masjid mengintimidasi dengan membentak-bentak seorang bermasker yang hendak shalat, akhirnya juga meminta maaf. Pun, yang terbaru, seorang perempuan marah-marah kepada petugas penyekatan arus mudik di Serang, berakhir dengan mengaku khilaf.

Masih banyak contoh lain, yang semuanya berpangkal dari ketidakmampuan menyeleksi unggahan, mempertimbangkannya, atau mengendalikan gestur dan emosi dalam menyikapi sebuah persoalan.

Dalih khilaf seolah-olah menjadi permakluman akhir yang menggambarkan betapa tipis batas antara emosi memosting dan perilaku minus-kontrol dengan kesadaran potensi luka sosial proses hukum.

BACA JUGA :  Video Sarwendah dan Betrand Peto Kembali Trending, Netizen: Serem Banget Jadi Takut